by Ludiro Prajoko
(Analis Politik dan Kebangsaan)
PENOLAKAN bukan sikap yang hanya dimiliki manusia. Binatang juga. Bedanya, penolakan oleh binatang terjadi secara mekanistik-instingtif, tidak berkait dengan kepentingan masa depan. Karena, binatang tidak memiliki kesadaran ideologis. Pada manusia, penolakan itu multi argumentasi-tendensi.
Manusia memang hidup dengan gagasan dan keyakinan. Juga menjunjung kolektivitas. Dari sanalah, ide-ide yang rumit digeluti, menandai kehidupan dan kediriannya: kebaikan umum, kesejahteraan bersama, keadilan sosial, masa depan yang lebih baik, kedaulatan, dan keadilan ekonomi. Hanya dengan itu, manusia dapat memahami dan memiliki pengalaman akan: kejahatan, pengkhianatan, ketidakadilan, keserakahan.
Penolakan diekspresikan melalui aneka cara dan penampakan. Dalam kehidupan bersama-bernegara, dimana manusia berkenalan dengan arti adil dan tidak adil, kata Hobbes, lebih-lebih pada era moderen ini, penolakan ditunjukkan secara terbuka: protes. Padanannya lazim kita sebut: demo-demostrasi. Diksi ini tidak kalis dari “kerancuan”, karena ada juga demo memasak, juga memasang kondom.
Perkembangan selanjutnya menjadi runyam. Karena, demo dapat, sewaktu-waktu berubah menjadi sejenis pekerjaan paruh waktu, dengan upah yang tak dapat dihitung dengan rumus. Bagaimana membedakan berbagai varian demo untuk menentukan demo yang murni, gerakan protes yang distimulasi faktor dan motif yang objektif?
Ukuran penilaian secara umum, kurang lebih: Pertama, isu yang memicu. Kedua, pelaku: gerombolan bayaran yang mengenakan aneka baju atau rakyat. Nah, siapa rakyat itu perlu dipastikan. Ketiga, tuntutan yang diajukan. Keempat, skala dan penyebarannya. Kelima, dalam suasana apa demo itu berlangsung.
Pemenuhan kebutuhan hidup, ancaman bagi masa depan (Bangsa), jelas bukan perkara remeh temeh.
Buruh, Mahasiswa, Pelajar, Kaum intelektual, Aktivis, Tokoh-tokoh masyarakat dan agama, praktisi hukum, dll, ebih-lebih bila menyatakan dirinya secara tegas melalui lembaga masing-masing (Ormas, Universitas, Organisasi Profesi) dan tak layak diragukan pemahaman mereka terhadap isu yang berkembang, serta orang-orang biasa yang berduyun-duyun, puluhan ribu, bahkan ratusan ribu, yang bergerak di jalan-jalan dengan keyakinan dan tekad untuk mencegah kemunkaran, menyingkirkan semua ketidak beresan. Mereka itulah rakyat yang sebenarnya.
Keadilan, kebenaran, pembaruan, kedaulatan, menjadi tuntutan yang sempurna. Dilakukan oleh puluhan ribu orang secara sukarela.
Milliu-lingkungan moral-sosial-politik yang kumuh, jorok, yang ditandai praktik culas, curang, korup, sarat tipu muslihat, menyediakan suasana sosial dan batin, yang meyakinkan bagi keniscayaan demo.
Itulah aksi demo-protes yang otentik, murni!
Demo menolak Omnibus Law,sangat meyakinkan memenuhi pokok-pokok di atas, karena: berkenaan dengan isu krusial bagi bangsa dan negara, digerakkan oleh orang-rang yang sadar akan hakikat dan tujuan bernegara serta ditindakkan secara sukarela oleh orang-orang yang berani menyuarakan kebenaran (Rakyat), menuntut keadilan, kejujuran. Dan berlangsung dalam suasana yang pengap oleh polutan sosial pada tingkat yang tak terbayangkan sebelumnya. Sekedar contoh, melumat 13 T sekali embat, lalu Negara berbaik hati mem-bail out, dan semua itu dilakukan dengan rileks.
Gelombang besar kedua demo menolak Omnibus Law berlangsung hari ini, 13 Oktober. Kita belum tahu bagaimana efek dan hasilnya. Bila dua gelombang itu tak juga mengubah sikap Pemerintah, lalu bagaimana?
Tentu harus terus dilakukan, dengan menimbang ulang metodenya. Boleh jadi, metode yang diterapkan selama ini tidak tepat: Gelombang Besar-Temporal. Namun, gelombang besar ternyata tak selalu efektif. Selanjutnya perlu dipikirkan menerapkan metode Gelombang Sedang-Intensif: aksi disebar, katakanlah ke 10 titik, dengan kekuatan per titik 10 ribu-an massa, sehingga tercipta gelombang-gelombang sedang yang meluas, berlangsung susul menyusul selama, katakanlah, 10 hari.
Eksponen bisa dijadwal secara kategoris-bergiliran: Mahasiswa-Pelajar, Buruh-Pekerja, 212, Emak-Emak, dll. Tentu, siapapun boleh terus ikut selama periode gelaran aksi.
Pastikan demo berjalan tertib. Massa hanya perlu duduk-duduk, boleh di jalanan, atau halaman perkantoran. Layaknya aksi pepe zaman kerajaan dulu. Demo dikelola model kelas perkuliahan, fokus bahasan: Indonesia hari ini dan Omnibus Law. Dikupas tuntas agar rakyat jelas.
Hal penting yang juga harus diperhatikan: jadikan Jakarta layak dicatat MURI, sebagai metropolitan yang berhasil menyelenggarakan car free day, 10 hari penuh. Sepuluh hari kelenggangan Jakarta, tentu menjadi pengalaman yang luar biasa. Tak perlu ada letusan, tak perlu ada luka.
Jaringan 212, sesuai pengalaman selama ini, layak sebagai penanggungjawab urusan logistik untuk memastikan peserta tidak kekurangan makanan dan minuman.
Metode ini, memang tidak mudah diterapkan. Namun, bila tidak dicoba, tentu tidak dapat ditaksir efektifitasnnya. Dan, ini sekedar komentar.
Komentar