TILIK.id, Jakarta — Pengesahan UU Cipta Kerja ditolak oleh mayoritas buruh dan mahasiswa. Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) melalui Majelis Nasional Korps Alumni HMI (KAHMI) ikut bersikap dan bersuara.
Beberapa point pernyataan MN KAHMI antara lain, substansi RUU Cipta Kerja harus dipastikan telah sesuai dengan landasan filosofis, yuridis dan sosiologis, yaitu penciptaan lapangan kerja serta mempermudah investasi, pengaturan ekosistem investasi, dan kemudahan serta perlindungan usaha mikro dan kecil sebagai bagian utama dalam mempercepat kemajuan Indonesia.
RUU Cipta Kerja mengandung semangat pembaharuan dalam memberikan kemudahan izin berusaha dan terobosan hukum untuk menangkap peluang invesitasi. Namun agar tidak melanggar prinsip negara hukum yang demokratis, harusnya RUU ini dibentuk dengan cermat, hati- hati dan kajian yang dilakukan lebih teliti untuk minimalisasi resiko yang merugikan bangsa dimasa depan.
Agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan, menurut KAHMI, para pihak yang berkepentingan dalam melakukan penilaian terhadap RUU Cipta Kerja tidak menggunakan pendekatan politik atau bisnis tetapi menggunakan batu uji (testing stone) ideologi Pancasila, Konstitusi UUD NRI 1945, teori dan asas hukum yang berlaku secara universal serta sesuai dengan nilai prediktibilitas (predictability), stabilitas (stabilitiy), keadilan (fairness).
“Atas dugaan keberpihakan kepada investasi asing dan terjadinya intoleransi ekonomi, peraturan pelaksana harus disusun secara jelas dan tidak ada substansi yang kabur (Obscuur Libel), apalagi yang merugikan rakyat. Peraturan pelaksana harus dapat mencegah oligarkhi ekonomi dan dapat mengarus utamakan ekonomi rakyat.” kata Koordinator Presidium MN KAHMI Sigit Pamungkas dalam rilisnya yang diterima Tilik.id, Selasa.
MN KAHMI meminta bahwa respon dan aspirasiyang menolak RUU Cipta Kerja harus disikapi pemerintah dengan persuasif dan dialogis, bukan dengan represif dan memonopoli kebenaran dengan melakukan justifikasi (pembenaran) terhadap RUU Cipta Kerja.
“Pernyataan-pernyataan pemerintah atau para elit politik untuk lebih bijak (wisdom),menyejukkan dan tidak menimbulkan pernyataan yang konfrontatif, spekulatif, ketidakpastian dan tidak ada solusi,” kata Sigit Pamungkas.
Dikatakan, sinkronisasi sejumlah pasal yang ditolak sebagian kelompok masyarakat menunjukkan bahwa ada permasalah dalam pasal-pasal tersebut. Pertentangan antar pasal harus dapat dipecahkan dengan melakukan harmonisasi antar undang-undang dan integrasi lembaga pelaksananya.
“Jika harmonisasi substansi tanpa harmonisasi kelembagaan, maka tidak akan menjadi penyelesaian masalah yang kredibel. Oleh karena itu, kebijakan deregulasi dan debirokratisasi harus dilaksanakan secara konsisten, terukur dan otentik,” kata mantan Komisioner KPU ini.
Dalam pernyataannya. MN KAHMI mengatakan, sebaiknya ada kemudahan mengakses dokumen resmi UU, agar tidak menimbulkan kecurigaan bahwa ada yang disembunyikan dari isi UU tersebut. Akses naskah RUU yang resmi merupakan inti masalah dan telah menimbulkan masalah baru, yang kontra produktif karena banyak beredar narasi hoax dan membingungkan masyarakat.
“Ini tidak sejalan dengan UU KIP yang pada dasarnya menjamin hak publik untuk mengakses dan mendapatkan informasi yang benar dari Badan Publik. Kewajiban Pemerintah dan DPR adalah memastikan bahwa rakyat tetap well informed dengan kebijakan yang ditetapkan,” kata Sigit.
Lebih jauh, Sigit mengatakan, dalam waktu 3 bulan semua peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan pelaksana dalam undang-undang ini harus sudah ada. Proses penyusunan tersebut harus dilakukan secara cermat sehingga tidak ada rumusan yang bermasalah yang berpotensi merugikan rakyat.
“Law and order harus ditegakkan dan menjamin adanya perlindungan dan kepastian hukum sesuai dengan amanat dan semangat konstitusi,” kata Sigit Pamungkas. (dms)
Komentar