by: Ludiro Prajoko
MANUSIA memang dirancang sebagai makhluk sempurna dan luar biasa. Bukan semata susunan tulang dan otot-ototnya, tetapi juga tumbuh kembang gagasan dan hasratnya. Karena itu, tak sekali jadi layaknya otomobil setelah melalui proses produksi yang rumit di pabrik Honda. Dan, pasti, manusia tidak seperti mobil EsEmKa yang tiba-tiba jadi.
Being human, bukan human being, kata Bergson. Human being memberi kesan manusia sebagai produk sudah jadi. Pada kenyataannya, juga hakikatnya, manusia senantiasa dalam proses menjadi. Di ujung proses itu, terdapat sebuah titik gapai. Iqbal menyebutnya Insan Kamil, manusia paripurna.
Boleh jadi, tak ada yang bisa menggapai titik itu. Tapi, kesanalah manusia seharusnya menuju. Sebab, bila tidak, Ia berhenti sebagai manusia.
Proses menjadi, being human, ditandai dengan gejala me-manusia. Gejala yang yang muncul sebagai akibat dari reaksi biokimia dalam tubuh yang berpadu dengan bekal alamiah: nalar dan kebebasan memilih.
Kita menyakini bekal itu karunia Allah, ketika Adam sebagai prototype manusia diajari nama-nama. Asad menjelaskan hal itu sebagai kemampuan berpikir konseptual. Ya, didalam setiap nama memang terkandung konsep.
Kebebasan memilih (tunduk atau ingkar) merupakan modalitas manusia yang esensial. Hanya setelah diberikan kebebasan itulah, maka tanggungjawab dan konsekuensi logisnya: pertanggungjawaban-pengadilan, menjadi masuk akal.
Lebih dari itu, merujuk uraian Cak Nur, sebagai mahkhluk-ciptaan meyakini perjanjian primordial dengan Allah-Sang Pencipta. Perjanjian yang memuat pengakuan: Engkau Tuhanku, dan janji setia: hanya kepadaMu aku tunduk berbakti. Bekal itu dilengkapi dengan buku petunjuk (Kitab) dan contoh hidup lakutindak (Rasul).
Dari bekal-bekal itulah gejala me-manusia: setiap gelagat yang menunjukkan secara meyakinkan bahwa Ia adalah manusia, bukan makhluk yang lain (misal: kera), dan secara sadar bergerak menuju keparipurnaannya, memeroleh pendasaran teologis dan operatif.
Gejala me-manusia itu akan bekerja, sekurang-kurangnya semi otomatis, layaknya sebuah skakelar on-off, untuk memilah dan menentukan yang haq dari yang bathil, yang benar dari yang salah, dalam merespon aneka konsep-gagasan, situasi dan pengalaman yang mengepung kehidupan ini.
Tentu beraneka faktor dan support system yang memengaruhi otentisitas dan kealamiahan ekspresi gejala me-manusia itu. Memang, acapkali yang muncul justru faktor dan sistem yang membiaskan, memanipulasi, bahkan menciderainya. Persis yang kita rasakan dewasa ini: jejaring kuasa praetorian (ekonomi-politik) dengan semangat abad keserakahan.
Jejaring itu mencerabut hukum dari fungsi dasarnya sebagai sarana mewujudkan dan menjamin keadilan, sekedar sebagai pengabsah kepentingan praetorian, asesoris yang menandai standar minimum masyarakat beradab. Dan, politik sekedar bayang-bayang yang diciptakan korporasi melalui uang yang melumat nyaris semua hal.
Kekuatan jejaring bertumpu pada kepatuhan apparatus represi bertindak bengis. Hoaks: narasi kehendak yang sepenuhnya dibaktikan untuk menipu-dusta, menjadi unsur elementer jejaring itu. Diproduksi dalam jumlah melimpah oleh buzzerp, lalu gencar ditebar melalui kecanggaihan media untuk menjungkirbalikkan penglihatan, persepsi, dan penghayatan akan yang bohong dan yang jujur, yang culas-palsu dengan yang sejati.
Tugas hoaks memang untuk mengaburkan batas-batas oposisi biner: haq-bathil, benar-salah, …….. nyaris melebur dalam satu warna pada gradasinya yang paling lembut. Hasil menerapkan sfumato dalam melukis kebohongan publik. Maka, buzzerp menjadi profesi terhormat dengan upah menggiurkan, setara dengan pelacur yang menjadi profesi terhormat pada jaman Romawi kuno.
Maka, gejala me-manusia terhadang dan terancam mengalami kelumpuhan. Tanda-tandanya semakin jelas: rendahnya kemampuan teknis untuk membedakan antara mengelola dan merampok, merosotnya derajat etik untuk menilai yang beradab dari yang bejat, menyusutnya kepekaan moral terhadap gelagat keculasan, menipisnya rasa gentar dalam mengemban amanah, menumpulnya daya cium sosial terhadap penyelewengan, menyingkirnya tabu-tabu sosial yang mencirikan politik yang beradab.
Skandal omnibus law menjadi wujud sempurna dari semua karakter di atas.
Walhasil, kebaikan, kebenaran, keabsahan, keadilan ….. adalah segala yang berasal dari jejaring kuasa. Semua hal tentang: Omnibus Law, kelakuan DPR, bail out Jiwasraya, …… sah, benar, dan baik-baik saja.
Eloknya, pihak yang dikukuhkan sebagai musuh semua itu: rakyat, karena bersuara tulus dan lurus tentang kebenaran dan keadilan.
Adakah pilihan bagi rakyat: mereka yang sadar akan keganasan jejaring kuasa yang melumpuhkan gejala me-manusia itu, selain terus bergerak menyingkirkannya?
Tak ada, hanya itu! Sekalipun banyak manusia tergoda untuk berhenti me-manusia, lantaran memilih menjadi spesies manusia yang lebih berkerabat dengan bebek.
Komentar