by Geisz Chalifah
DI MASA lalu dan sampai beberapa waktu kemudian, setiap bicara tentang kota-kota di Indonesia dan ditanya mana kota yang paling romantis? Maka jawaban saya adalah Jogja. Setiap sudutnya bernuansa romantis.
Jogja itu kota yang ngangenin walau hanya sekadar berjalan kaki di Malioboro. Belum lagi bila baca novel-novelnya Ashadi Siregar.
Di Jogja eksotisme itu tak hanya yang terlihat dalam pandangan mata, tapi juga ada keindahan dalam komunikasi antar manusia. Setidaknya itu yang saya rasakan bila berada di Jogja.
Sangat berbeda dengan Jakarta, suasananya maskulin. Kota ini dibangun hanya sekadar fungsi-fungsi. Gedung-gedung tinggi lalu diberi pagar pembatas, jalan raya dipenuhi pagar beton antara jalur motor dan bus yang membedakan dengan mobil pribadi.
Tak ada sentuhan “Ibu” bila berjalan kaki di Jakarta. Nuansanya keras dan sangar.
Halte bus dibangun sekadar halte tanpa ada imaginasi, jembatan penyebarangan orang (JPO), bukan hanya tidak indah tapi iklan bilboard yanf menutupi kanan kirinya, seperti menunjukkan manusia di Jakarta hanya dilihat sebagai pasar. Hanya konsumen yang diproyeksikan dalam sebuah produk, bukan manusia dengan budayanya. Bukan manusia yang memiliki relasi humanistik dengan yang dilihatnya.
Anies Baswedan menjadi Gubernur, sejak dilantik sampai hari ini hujatan pada dirinya tak pernah henti, mereka yang menghujat itu pada umumnya adalah kepanjangan atau bisa dikatakan budak dari para pemilik produk dalam bilboard yang selama ini terpampang di jalan raya. Budak dari mereka yang selama ini melihat warga hanya sebagai pasar dari produk-produk yang mereka miliki.
Anies tak meladeni semua hujatan dan dia katakan saya akan menjawab semua itu dengan karya bukan dengan kata-kata.
Belakangan ini foto-foto sudut-sudut Jakarta bertaburan di media sosial, saya mengamati setiap foto itu dan bertanya – tanya itu dimana?
Setiap foto mengandung nuansa artistik, setiap foto seperti mengatakan: Kota ini kota manusia. Bukan lagi kota yang hanya memperlihatkan hasil produk-produk pabrik.
Cikini Raya, Kemang Raya, bahkan daerah Keramat Raya yang selama ini dikenal dengan sebutan nerakanya Jakarta (Senen dan sekitarnya) deretan warung-warung nasi kapau legendaris ditata sedemikian rupa.
Jembatan Penyeberang Orang (JPO) pun menjadi destinasi wisata, halte bus berubah wajah menjadi artistik, taman – taman bermain di kampung-kampung berubah wajah, menjadi lebih tertata. Sepanjang Sudirman – Thamrin mengalami perubahan wajah, dari keras dan sangar menjadi feminin. Seperti ada sentuhan seorang ibu yang merawat taman rumah dengan hati.
Wajah Jakarta menjadi artistik, sudut-sudutnya menjadi romantis.
Bagaimana dengan manusianya?
Tiga tahun Anies memimpin kota ini tak ada sekalipun gejolak, tak ada yang terlukai hatinya, tak ada yang wajahnya dikeruhkan.
Jakarta menjadi teduh, ada warga yang miskin dan mereka disapa dengan selayaknya manusia, bukan dijauhkan dari pandangan (digusur) agar kelas menengah ngehe tak melihat mereka.
Jakarta kini adalah kota yang warganya diperlakukan sebagai insan budaya bukan sekadar pasar bagi beragam produk.
* Geisz Chalifah,
Alumni SMA 7 Gambir
Alumni MBFA.
Ngerti ttg Tanah Tinggi gg 12 sd Gang Tembok Kali Pasir.
Bukan Liberal Udik.
Komentar