TILIK.id, Jakarta — Piemilu 2019 yang lalu harusnya menjadi pelajaran setelah 600 lebih penyelenggara pesta demokrasi tersebut meninggal dunia. Tahun ini ada pesta demokrasi di saat pandemi Covid-19 makin ganas.
Jika Pilkada di lakukan di tengah pandemi Covid-19, dan membawa korban jiwa, maka bisa disebut sebagai kejahatan kemanusiaan.
Demikian salah satu pernyataan rekomendasi dari Medical Emergency Rescue Committe (MER-C) yang dikeluarkan Rabu malam. Rekomendasi itu disampaikan dalam jumpa pers online Rabu sore (30/9/2020).
Konfetensi Pers mengambil tema Pilpres Tanpa Pandemi Renggut 700 Nyawa, Pilkada di Tengah Pandemi? Tampil sebagai marasumber Ketua Presidium MER-C dr Sarbini Abdul Murad, dan dua Presidium MER-C yakni dr Yogi Prabowo dan dr Arief Rachman.
Dokter Sarbini mengatakan, pandemi Covid-19 masih melanda dunia dan Indonesia. Angka kasus positif semakin bertambah dari hari ke hari hingga mencapai angka 300 ribu, dengan angka kematian mencapai lebih dari 10.000.
“Hal ini harusnya membuat kita semua lebih berhati-hati menyusun langkah. Segala upaya pencegahan dilakukan untuk mengurangi transmisi penularan dan mencegah kematian baik oleh pemerintah maupun masyarakat,” katanya.
Menurutnya, pilkada serentak yang akan diselenggarakan akhir 2020 mengancam keselamatan warga, meningkatkan resiko transmisi penularan Covid-19, karena proses pilkada masih belum bisa dilakukan secara virtual, sehingga masih terjadi pengumpulan orang baik kegiatan kampanye ataupun kegiatan pencoblosan itu sendiri.
“Masih segar dalam ingatan kita tentang penyelenggaraan Pilpres 2019 yang menimbulkan lebih dari 700 korban jiwa dan ribuan yang jatuh sakit. Harga yang begitu mahal untuk sebuah resiko penyelenggaraan pesta demokrasi,” katanya.
Dia melanjutkan, banyak spekulasi berkembang mengenai penyebab kematian ratusan petugas KPPS itu, namun yang tampak kasat mata adalah faktor beratnya dan lamanya pekerjaan yang diemban oleh petugas sehingga menyebabkan kesakitan dan kematian.
Situasi diperburuk dengan kesiapan penanganan medis yang kurang. Sistem rujukan kegawatdaruratan medis yang dipersiapkan belum mampu menangani para KPPS yang mendadak sakit.
Banyak KPPS yang mengeluh sakit dada yang disinyalir sebagai gangguan jantung, lalu dibawa ke fasilitas kesehatan seperti pukesmas, RS kecamatan atau bahkan tidak berobat. Tidak dapat diselamatkan karena fasilitas kesehatan tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk menangani gangguan jantung.
Kemudian juga tidak adanya call center dan sistem ambulance yang bisa bergerak cepat apabila ada KPPS yang jatuh sakit. Kesimpulannya adalah sistem kegawatdaruratan medis yang dibangun belum siap.
“Pilkada 2020 yang akan digelar ini akan melibatkan 600 ribu TPS yang akan berpotensi menjadi kluster penularan Covid-19 diseluruh Indonesia,” bebernya.
Karena itu, katanya, MER-C menilai memaksakan penyelenggaraan Pilkada di tengah situasi Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, berpotensi menimbulkan korban yang signifikan karena 2 hal penting.
Yaitu situasi pandemic yang belum menunjukkan tanda-tanda usai dan ketidaksiapan sistem rujukan kesehatan dan kegawatdaruratan. Bahkan Covid-19 sudah menginfeksi bebrapa calon kepala daerah, ketua KPU dan petingginya.
Ini harus dijadikan peringatan dan sinyal bahwa Pilkada harus ditunda. Apabila KPU tidak mengindahkan kondisi pandemic dan resiko jatuhnya korban.
“Artinya adalah mengabaikan nyawa manusia dan bisa menjadi kejahatan kemanusiaan dan tentu saja akan menambah catatan hitam KPU yang harus dipertanggung jawabkan di kemudian hari,” ujarnya.
Oleh karena itu, maka MER-C merekomendasikan:
1. Penundaan Pilkada sampai kondisi pandemic membaik;
2. Menyiapkan sistem rujukan kegawatdaruratan dan kesehatan yang memadai sebagai upaya mitigasi jatuhnya korban jiwa seperti Pilpres 2019;
3. KPU dan pemerintah bisa menahan diri, demi keselamatan masyarakat;
4. KPU mempersiapkan sistem Pilkada yang mengurangi pengumpulan massa dan kerja berat para kpps, KPU harus mengikuti protokol kesehatan yang sudah ditetapkan dan melakukan modifikasi sistem pilkada.(lmb)
Komentar