TILIK.id, Jakarta — Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto bahwa “dinasti politik sebagai realitas politik yang dikehendaki masyarakat’ langsung menuai tanggapan. Nagara Institute ikut menyayangkan pernyataan Airlangga Hartarto itu.
Melalui pernyataan resminya, Ahad (2/8/2020), Nagara Institute menilai pernyataan Airlangga Hartarto itu menunjukkan kekalahan yang nyata pada dinasti politik yang semakin menggurita dan menguasai kehidupan sosial politik kita.
Argumen bahwa “sejauh masyarakat memilih, secara demokratis adalah sah” adalah pengakuan bahwa elite parpol khususnya Partai Golkar tidak cukup memahami ancaman nyata dari praktek politik dinasti ini.
Direktur Nagara Institute Akbar Fazal mengatakan, hasil riset Nagara Institute pada pilar legislatif yakni DPR-RI hasil pemilu legislatif 2019, dan pada pilar eksekutif yakni pada tiga pilkada serentak (2015, 2017 dan 2018) menemukan bukti dinasti politik telah sangat jauh menguasai partai politik kita yang berdampak pada semakin dalamnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol dan lembaga DPR itu sendiri.
“Itu tercermin pada kualitas produk-produk DPR yakni UU yang dibuatnya, controling terhadap pemerintah, serta, distribusi anggaran yang adil dan berkualitas pada tupoksi budgeting DPR. Terdapat 178 anggota DPR-RI hasil pileg 2019 yang terpilih atas peran dinasti politik mereka yang sedang berkuasa di berbagai pemerintahan daerah,” jelas Akbar Faizal.
Dia melanjutkan, tingkat kerusakan yang ditimbulkan dinasti politik dalam bidang eksekutif jauh lebih dalam lagi. Terdapat 56 kepala daerah –baik bupati, walikota dan gubernur—yang tercokok KPK karena korupsi. Belum lagi yang digarap Kejaksaan dan Kepolisian. Kualitas pemerintahan daerah juga jauh dari cukup.
Begitu sulit mencari pemerintahan daerah yang berkualitas. Terbaru, penangkapan Bupati Kutai Timur beserta istrinya (sebagai Ketua DPRD Kutim) menjadi bukti nyata kerusakan parah dinasti politik. Belum lagi pertengkaran eksekutif dan legislatif yang berakhir dengan ‘pemecatan’ Bupati Jember oleh seluruh parpol pengusungnya sendiri saat Pilkada.
“Untuk itu, pernyataan Airlangga Hartarto atas nama Partai Golkar sulit dipahami melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh praktek politik dinasti yang sebenarnya tak layak lagi mendapat tempat,” kata mantan anggota DPR RI dari Hanura dan NasDem ini.
Dikatakan, Partai Golkar seharusnya berada di garis terdepan menghentikan praktek politik dinasti ini. Sebab, Partai Golkar telah merasakan kesulitan serius setelah reformasi 1998 yang berhasil menumbangkan Orde Baru sebagai fase rezim yang mengembang- biakkan politik dinasti.
Karena itu, kata Akbar Faizal, Nagara Institute memberikan lima catatan kritis terhadap pernyataan Ketua Umum Partai Golkar tersebut, yakni:
1. Dinasti politik adalah bentuk praktek kejahatan politik yamg terorganisir dengan baik terhadap demokrasi sebab melegitimasi berkumpulnya kekuatan politik —yang berdampak terhadap kehidupan banyak orang— di satu tangan/keluarga/kelompok berdasarkan kekerabatan keluarga.
2. Dinasti politik merampas hak rakyat dan atau orang lain untuk mengambil peran-peran konstitusional dalam kehidupan sosial politik rakyat sekaligus merusak kaderisasi parpol. Parpol seharusnya menjadi pihak yang terganggu dan gelisah atas praktek politik jenis ini sebab dinasti politik telah membajak tujuan luhur partai politik melayani dan memfasilitasi hak-hak konstitusional semua orang dan bukan hanya orang/kelompok yang kebetulan sedang memiliki kekuatan politik mengendalikan pilihan parpol memilih orang-orang untuk jabatan itu.
3. Dinasti politik bukanlah realitas politik yang diinginkan masyarakat tetapi keinginan elite yang dilegitimasi oleh kepemilikan otoritas organisasional. ‘Realitas politik’ yang dimaksudkan oleh Bapak Airlangga Hartarto bukanlah ‘akibat’ tapi sebagai ‘sebab’ yang muncul sebagai dampak dari perilaku elit parpol yang memaksa masyarakat untuk memilih kandidat yang disodorkan parpol.
4. Pernyataan tersebut juga dapat dimaknai sebagai parpol khususnya Partai Golkar tak berniat untuk memahami situasi yang membahayakan demokrasi ini dan sekaligus tak bermaksud untuk mengupayakan berbagai langkah untuk menghentikan praktek anomali demokrasi ini. Terbaca dengan kuat pesan bahwa partai politik kalah dan selanjutnya menerima apa adanya politik dinasti ini. Sesuatu yang sangat membahayakan perjalanan demokrasi elektoral kita.
5. Mendesak Partai Golkar sebagai partai yang sangat matang dan berpengalaman dengan fraksi yang kuat di DPR-RI untuk segera mengambil langkah signifikan untuk menghentikan politik dinasti ini dengan menggalang fraksi-fraksi lainnya merevisi paket UU Politik khususnya UU Parpol dan UU Pilkada dan terkhusus lagi mengupayakan langkah politik yang perlu dan mendesak menghidupkan kembali Pasal 7 huruf r UU nomor 8 Tahun 2015 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Termasuk mencari cara dan terobosan politik menghalangi bekas narapidana korupsi kembali mencalonkan diri dalam Pilkada yang justru dibolehkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi. (lms)
Komentar