Oleh: H Moh. Bahri, S.Pd.I., SH
(Anggota DPRD Prov. Banten, Fraksi Gerindra)
DUNIA mencatat pelbagai tradisi (ritual) yang khas, dengan nuansa pengorbanan, sebagai bukti kesetiaan dan keyakinan.
Dari yang sifatnya wajar, sampai yang nyaris mengerikan untuk ukuran manusia normal saat ini. Misalnya dalam bentuk harta benda, hewan, sampai nyawa…
Jangankan di antara agama-agama samawi, bahkan di komunitas adat, kelompok terpencil, serta-sekte tertentu, ritual berbau kurban selalu ada.
Beberapa ideologi politik klasik pun mengenal “tradisi” ini, meski berbau heroisme. Misalnya para pahlawan pejuang yang menyabung (mengorbankan) nyawa demi membela kelompoknya.
Secara umum, terdapat beberapa ciri khas yang melekat pada aktivitas kurban.
Paling menonjol: adanya jiwa mengabdi, menunjukkan kesetiaan total, seraya mempersembahkan sesuatu yang berharga, dari seseorang atau kelompok, kepada pihak yang dianggap lebih tinggi. Ini ciri pertama.
Ciri kedua, berlangsungnya proses timbal balik (resiprokal) antara pihak yang mendedikasikan pemberian kurban dengan pihak yang “diberi” kurban. Relasi saling menguntungkan minimal dalam bentuk saling menjaga jaminan keberlangsungan kelompok.
Ciri ketiga, adanya faktor imajinatif, bayang-bayang atau kepercayaan, yang kemudian diterima bersama. Atau rasionalisasi untuk membenarkan aktivitas tersebut.
Terakhir, keempat, berlangsung periodik, serta turun temurun.
Nah bagaimana dengan ritual kurban dalam Islam? Yang secara berbeda memiliki konsep dan bahkan istilah tersendiri, yakni qurban (berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari bentuk kata dasar atau mashdar qoroba, yang berarti dekat).
Dan Al Quran menegaskan hal itu, bahwa qurban adalah untuk beribadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT (Al Kutsar ayat 2).
Senyatanya dalam Islam, qurban lebih melampaui kategori kurban dalam tradisi manapun.
Karakter kurban yang spesifik dalam Islam, yakni adalah: hadirnya ghirah spiritual, kerelaan, semangat dan hasrat tinggi, persembahan rasa syukur, relasi sejarah, bukti ketauhidan, serta solidaritas sosial yang kental.
Ini adalah nilai-nilai yang otentik, dalam tradisi qurban oleh ummat Islam.
Dalam tradisi lain, “persembahan” menjadi milik dan dinikmati pihak yang diberi sesembahan kurban.
Dalam tradisi lain pihak yang berkurban harus kehilangan sesuatu demi mempertahankan sesuatu. Atau minimal adanya jaminan tertentu.
Dalam Islam, pihak yang berkurban justru memperoleh sesuatu, mensyukuri atas anugerah pencipta, maka dengan sukarela ia berkurban.
Saat seorang Muslim berkurban, ia tidak sedang meminta jaminan faktual, melainkan justru ungkapan rasa terima kasih atas berbagai nikmat yang telah ia peroleh.
Dalam tradisi lain, makna kurban mungkin disertai rasa waswas dan cemas. Dalam Islam justru menularkan bahagia dan kebersamaan.
Lebih dari semua itu, karakter qurban yang kuat dalam Islam adalah faktor ini: solidaritas sosial.
Solidaritas Sosial
Hewan qurban dalam Islam tidak dikirim ke laut, diletakkan di goa, atau di tanam ke perut bumi. Melainkan wajib dibagikan kepada orang di sekitar (terutama kepada kaum dhuafa).
Allah SWT tak membutuhkan hewan-hewan qurban itu. Melainkan manusia yang lebih butuh.
Bagi orang yang mampu berkurban, ia butuh penyucian diri, pengungkapan rasa syukur dan menebalkan keimanan. Bagi yang menerima, mereka juga memperoleh layanan solidaritas dari saudaranya yang lain.
Konteks Kekinian
Sudah tentu saripati qurban sebagai wahana memperkuat solidaritas ini, tak selesai saat qurban dibagikan.
Melainkan justru menguatnya rasa Iman, untuk memperbanyak amal kebaikan, dan itikad saling membantu antar sesama.
Karena berbuat baik dan menjadi insan yang bermanfaat bagi orang lain, adalah sebaik-baik manusia (seperti disebutkan dalam hadis Nabi, khoirunnas anfauhum linnas).
Singkatnya, qurban dalam Islam bukan semata ritual sesaat, melainkan ada makna batin, ungkapan syukur, wujud aktivitas kebaikan, dan harus berdampak maslahat bagi sesama.
Semoga spirit ini yang terjadi dalam momentum Idul Qurban saat ini. Kita butuh saling bantu, saling menguatkan, saling memberi maslahat, terlebih di tengah musibah wabah Corona. Insya Allah.
Komentar