Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
KECEWA para pendukung itu hal biasa. Hampir terjadi di setiap rezim. Tidak saja kepada yang jadi, yang gagal jadi saja kadang juga menghadapi kekecewaan dari para pendukungnya.
Prabowo adalah contoh paling mutakhir. Pilih koalisi dengan Jokowi, Prabowo dicap sebagai penghianat. Adakah ini akan berpengaruh terhadap Pilpres 2024 jika Prabowo mau maju lagi? Banyak spekulasi.
Jika maju, apakah Prabowo akan membalik sejarah? Atau hanya menyempurnakan kekalahannya hingga tiga kali berturut-turut? Kita tunggu saja.
Lain Prabowo, lain juga Jokowi. Sejumlah pendukung Jokowi juga menyatakan kecewa. Sebagian diungkap di medsos. Kenapa? Pertama, boleh jadi karena gak kebagian jatah. Ini mungkin sedikit jumlahnya. Karena Jokowi dikenal pandai berbagi. Tidak saja untuk generasi tua, generasi milenial pun dapat bagiannya. Kartu pra kerja misalnya, dituding banyak pihak sebagai bagian dari praktek bagi-bagi. Rangkap jabatan komisaris BUMN juga heboh saat ini. Begitulah politik. Menang, ya bagi-bagi. Itu namanya pengertian! Ada ribuan posisi untuk berbagi.
Kedua, ini lebih karena alasan substansial. Di era Jokowi, banyak peristiwa yang dianggap membuat rakyat miris. Dimulai dari kematian petugas pemilu yang jumlahnya aduhai. 894 orang. Hingga saat ini, masih dianggap kontroversial.
KPU umumkan hasil pemilu tengah malam. Situng KPU pun gak tuntas. Belum lagi peristiwa kematian yang terjadi dalam sejumlah demonstrasi.
Di era Jokowi, UU KPK direvisi. KPK pun megap-megap. Dibilang mati, belum juga dikubur. Revisi UU KPK seperti memberi peluang koruptor kakap untuk kabur. Inilah hasil sempurna kolaborasi pemerintah dengan DPR. Mumtaz.
UU Corona dan UU Minerba diketok juga. Walaupun protes terjadi dimana-mana. Disusul RUU Omnibus Law dan RUU HIP. Rakyat marah. Buruh, mahasiswa dan umat Islam protes. Turun ke jalan dan lakukan demo. Apakah akan didengar? Didengar iya, dipahami belum tentu. Apalagi diakomodir. Masih jauh. Lihat saja episode yang sedang berjalan.
Iuran BPJS naik. Meski MA sudah batalkan Perpres 75/2019, naikin lagi. Terbit Perpres 64/2020. Tarif listrik dan jalan tol juga naik. Entah sudah berapa kali naiknya. Senyap!
Sejumlah BUMN bangkrut. Jiwasraya dan Asabri kebobolan belasan triliun. Hutang negara meroket. Ke Pertamina saja kabarnya negara masih punya hutang 160 triliun. Hutang swasta sekitar 400-500 triliun. Infonya total hutang negara sudah tembus 7000 triliun. Belum lagi dana haji. Diobok-obok.
Pertumbuhan ekonomi minus. Ribuan perusahaan, termasuk kontraktor tutup. Jauh sebelum Covid-19. PHK terjadi dimana-mana. BI dan Kementerian keuangan dapat tekanan untuk cetak uang besar-besaran. 600 triliun. Ancaman inflasi dihiraukan.
Sementara, sejumlah menteri hanya bisa bermain akrobat. Putar balik lidah dan sibuk carmuk. Tak bisa kerja. Publik melihat kursi kabinet dominan sebagai bagi-bagi posisi untuk para pemodal dan pengusung. Jauh dari kemampuan untuk bekerja secara profesional. Kepada para menteri, Jokowi marah-marah. Jengkel! Mereka dianggap tak bisa kerja sesuai target. Pertanyaannya: siapa yang pilih mereka?
Terutama dalam penanganan Covid-19. Telat antisipasi, dan kacau datanya. Data sebelum datang Covid-19, maupun data setelah diserbu Covid-19. Laporan jumlah terinveksi dan yang mati, belum beres hingga hari ini. Simpang siur.
Ini semua fakta obyektif yang bisa dilihat dan dibaca. Tentu, oleh otak yang masih waras. Waras artinya jujur. Menyangkal sama artinya gak percaya pada data dan fakta yang transparan di depan mata. Kalau gak percaya data dan fakta, lalu mau percaya pada apa?
Inilah kondisi obyektif yang memaksa para pendukung melakukan evaluasi atas pandangannya terhadap Jokowi selama ini. Sebagian masih ada beban untuk mengakui. Sebagian yang lain telah mengakui data dan fakta itu. Mereka kecewa.
Lalu, apa pengaruh kekecewaan para pendukung itu secara politik? Tak banyak. Kecuali jika ekonomi ambruk dan kekuatan Jokowi rapuh. Disitu, para pendukung akan balik badan. Tidak saja massa, partai politik, anggota DPR dan aparat pun akan menjadi pihak pertama yang berlomba untuk balik badan. Cabut dukungan.
Jokowi harus sadar dan punya kepekaan terhadap perkembangan situasi belakangan ini. Karena semua bisa mendadak berubah dan tak terantisipasi. Bahaya!
Jakarta, 13 Juli 2020
Komentar