Oleh: DR H.Abustan, SH.MH
(Pengajar Filsafat Hukum UID Jakarta)
KABAR buruk lagi-lagi menghampiri Gedung Senayan, tempat berkantornya anggota dewan yang terhormat. Hal itu disebabkan, karena Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) merupakan usulan DPR RI.
Padahal negeri ini sedang berjibaku melawan wabah virus corona, sehingga otomatis agenda ini menuai protes dari berbagai kalangan. Dianggap pembahassn tersebut tidak tepat, baik momentumnya maupun urgensinya.
Penyederhanaan Pancasila menjadi sosio-nasionalisme, sosio demokrasi, dan ketuhanan yang berkebudayaan (Pasal 7, ayat 2) yang kemudian diperas lagi menjadi gotong royong (Pasal 7 ayat 3) dianggap potensial mendegradasi Pancasila sebagai pandangan hidup integral bangsa.
Tentu saja,. gagasan ini sangat kontradiktif karena dari berbagai literatur dan acara-acara resmi kenegaraan selalu ditegaskan bahwa Pancasila merupakan ideologi final. Penegasan ini menjadi kerangka acuan dan kerangka dasar dalam membangun konstruksi berbangsa dan bernegara di tengah berbagai upaya untuk mendegradasi
fondasi konstitusionalitas kita.
Beruntunglah kontroversi yang dipicu oleh RUU HIP akhirnya berakhir. Pemerintah memutuskan menunda pembahasannya setelah mencermati situasi yang ada, dimana nyata-nyata telah mendapat banyak penolakan dari arus besar masyarakat.
Kini, negara tengah fokus menangani Covid-19 dengan segala dampaknya yang bisa saja membuat bangsa ini berada di tepi jurang krisis/reses. Dalam kondisisi seperti itu, alangkah baiknya tidak ada pihak yang justru berusaha membuat manuver atau terobosan-terobosan yang tidak produktif dan hanya membuat kericuhan/kegaduhan.
Pertanyaan fundamental buat kita: Apakah patut kita membahas RUU tentang ideologi di tengah situasi sebagian rakyat kita sedang berjibaku menaklukkan Covid-19 dalam seragam tenaga kesehatan, di tengah banyak rakyat yang jatuh miskin dan kehilangan pekerjaan (PHK) bahkan banyak rakyat meneteskan air mata karena kehilangan anggota keluarga akibat meninggal terjangkiti virus corona.
Lagi pula, inisiasi RUU tersebut jika membaca secara cermat substansinya, kita tak menemukan sesuatu yang urgen dan mendasar untuk kepentingan rakyat. Tetapi sebaliknya kita menemukan hala-hal yang rancu, ketidakkonsistenan dan irrasional dengan substansi yang ada.
Setidaknya ada dua persoalan substansi, yakni terkait tidak dicantumkannya konsiderans Tap MPRS tentang pelarangan komunis, dan Pancasila yang dipreteli menjadi trisila, bahkan ekasila.
Dua hal inilah yang memicu kehebohan, sehingga menimbulkan banjir kritik dan pro-kontra di masyarakat. Hemat saya, jika hal ini dipaksakan untuk diteruskan bisa terjadi pertentangan pendapat terus menerus dan ujungnya bisa sangat rentan terjadinya konflik.
Terakhir, yang menjadi pertanyaan karena sekarang status RUU HIP hanya penundaan sementara pembahasannya. Apakah setelah itu masih ada kelanjutannya: Buat saya lebih baik dicabut dan berjiwa besar untuk melupakan RUU HIP ini. Biarkanlah Pancasila menjadi alat perekat sambil memperkuat pada level implementasinya.
Utan kayu, 20 Juni 2020
#masihdirumah
Komentar