LBP dan Utang Pemerintah

Oleh: Arip Musthopa
(Komunitas Cinta Indonesia dan Mantan Ketua Umum PB HMI 2008 – 2010)

PADA 3 Juni, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) menantang pengkritik utang pemerintah untuk berdebat dengannya. Luhut yakin bahwa utang pemerintah statusnya aman dan produktif. Luhut bahkan menyebut pengkritik membodohi rakyat.

Argumen Luhut berdasarkan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2019 sebesar 30,2 persen, masih jauh di bawah ambang batas yang dibolehkan oleh UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60 persen. Selain itu, Luhut juga membandingkannya dengan rasio utang negara tetangga dan negara maju seperti Singapura (111 persen), Malaysia (51), dan Jepang (253).

Argumen Luhut ada benarnya. Tapi apakah karena itu semua baik-baik saja dan tidak perlu ada kekhawatiran? Apakah hanya dengan dua hal itu saja soal utang dapat dimaknai? Mari kita lihat data-data.

Tahun 2014, saat Jokowi menerima kekuasaan dari Presiden SBY, rasio utang pemerintah terhadap PDB besarnya 24,7 persen. Sebelumnya, Presiden Gus Dur, Megawati dan SBY berhasil menurunkan rasio utang warisan Orde Baru dan krisis ekonomi 1998 dari 85,4 persen (1999). Berbeda dengan era Gus Dur, Megawati dan SBY, trend rasio utang era Jokowi bukan turun, melainkan naik.

BACA JUGA :  Bioskop Keramat Dibakar (Jadikan Taman Publik)

Per April 2020, rasionya sebesar 31,78 persen, dan menurut Kemenkeu, akan terus naik menjadi 38,3 persen tahun 2023. Tidak menutup kemungkinan, Jokowi mewariskan rasio utang menyentuh angka 40 persen tahun 2024.

Harap dicatat bahwa rasio di bawah ambang batas 60 persen bukanlah jaminan rasio utang pasti aman untuk stabilitas moneter dan fiskal. Lihat kasus negara kita pada tahun 1998. Saat itu, rasio utang adalah 57,7 persen, atau di bawah 60 persen. Akan tetapi, kita tidak luput dari krisis moneter yang hebat.

Peningkatan rasio utang berkorelasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan rasio perpajakan (tax ratio). Pertumbuhan ekonomi era Jokowi rata-rata 5 persen di bawah rata-rata era SBY sebesar 6 persen dan Suharto dekade 1987-1997 sebesar 7 persen. Bahkan ekonomi tahun 2020 diprediksi tumbuh hanya 2,3 persen.

Sementara itu tax ratio, yang terkait langsung dengan kemampuan membayar utang tanpa harus menerbitkan utang baru, trend-nya terus menurun. Tahun 2014, tax ratio berada di angka 13,1 persen. Tahun 2019 menjadi 10,7 persen dan tahun 2020 diprediksi rasionya turun lagi jadi 9 persen.

BACA JUGA :  Kesalahan Terbesar Anies Baswedan

Jadi, kritik kepada utang pemerintah yang trend rasionya melonjak di tengah laju pertumbuhan ekonomi (PDB) rendah dan penurunan tax ratio sangat beralasan dan faktual. Sangat keliru apabila kritik tentang utang pemerintah disebut LBP sebagai upaya membodohi rakyat.

Beban utang yang semakin besar akan menyulitkan kebijakan fiskal di masa depan, dan meningkatkan resiko stabilitas moneter. Selain itu, secara tidak kasat mata, akan meningkatkan rongrongan pada kedaulatan negara. LBP pasti paham soal resiko ini, tapi apakah diperhatikannya?

Selanjutnya, dimensi utang juga dapat dilihat dari sisi penggunaannya. Apakah penggunaan dana utang sudah kredibel? Saya berikan satu contoh yang mengindikasikan kita harus kritis soal ini.

Yaitu pelaksanaan pelatihan daring Kartu Prakerja. Anggarannya Rp.5,6 triliun. Mekanisme pelaksanaan yang ditentukan saat ini akan menghabiskan seluruhnya. Padahal apabila caranya diubah tanpa jual-beli (komersialisasi), hanya perlu sekitar Rp. 300 miliar. Modus semacam ini sangat mungkin terjadi pada penggunaan dana utang baru 2020 sebesar Rp. 1.633 triliun.

Bila dikritik tak berkenan, bisakah LBP menjamin dana utang dikelola secara kredibel, tidak di-mark up? Meragukan, karena untuk Kartu Prakerja saja, sang jenderal tak terdengar berupaya mencegahnya.

BACA JUGA :  Jangan Halangi Anies Kasih Makan Warga Jakarta

Komentar