Oleh: Geisz Chalifah
SEBUAH film berjudul Game Change yang bercerita tentang Pemilihan Presiden di Amerika ketika Sarah Palin dicalonkan menjadi Wapres berpasangan dengan John McCain.
Dalam salah satu scene di film tersebut, Sarah Palin ditemui oleh direktur tim kampanye dan ditanyakan kesiapannya dalam menghadapi media. Ketua tim kampanye itu menyatakan: “Kamu dan keluargamu akan dikuliti habis-habisan, apakah kamu siap?”
Apa yang ditanyakan oleh direktur kampanye itu memang benar terjadi. Seluruh keluarga Sarah Palin diekspose habis-habisan, termasuk putrinya.
Dalam proses pemilihan presiden maupun Pilkada, gosip, fitnah kampanye negatif bertebaran di media terutama di media sosial. Menurut Anies Baswedan, ketika proses pilkada berlangsung, dirinya mandi fitnah dan yang seperti itu memang harus dilalui, toh semua fitnah itu akan kembali kepada penyebarnya sendiri.
Namun bagi saya, ada yang tak biasa, yaitu ketika Ade Armando seorang dosen yang mengakunya intelektual menjadikan akun FBnya sebagai akun gosip. Dosen di Universitas Indonesia itu yang digaji dari uang rakyat menyatakan: Anies memiliki simpanan di Amerika. Saya pun langsung membalas dengan bukti yang dia tak bisa bantah.
“Ade, yang poligami itu elu jangan bersikap seperti pecundang,” sambil melampirkan tulisan dari akun email Ade Armando disebuah milis yang berisi pengakuan dia sendiri tentang poligami yang dilakukannya.
Rangkaian fitnah dalam dunia medsos sekarang ini menjadi menu hari-hari. Membully dengan ratusan akun palsu oleh gerombolan BuzzerRp Otak Dikit untuk meruntuhkan martabat seseorang terkesan menjadi lumrah. Terutama terhadap individu yang yang berbeda orientasi politik.
Saya pribadi sudah memprediksi yang akan terjadi bila bersedia tampil di media TV. Ketika mereka tak mampu beradu argumentasi, tak mampu berdebat dengan data, maka semua hal yang bersifat pribadi mereka berusaha mencari cara, baik itu melalui foto-foto dimedsos atau status, dll, lalu dilepaskan dari konteksnya dan dijadikan bahan bully-an maupun fitnah berikut narasi yang mereka karang-karang sendiri.
Semua komentar-komentar di akun youtube yang berisi argumentasi dari orang yang berbeda preferensi politiknya, hanya berisi caci maki bersifat phisik. Bukan memberi bantahan secara argumentatif dari orang yang dicacinya tersebut.
Tak jarang pula kalimat-kalimat bemuatan rasis mereka ungkap tanpa beban. Perilaku rasis memang menjadi daki peradaban dan itulah budaya yang mereka miliki saat ini karena terbatasnya kapasitas otak mereka.
Berkomentar dulu dungu kemudian tak menjadi masalah dan tak merasa malu walaupun data faktual menunjukkan sebaliknya. Miskin referensi dan malas baca belum lagi kemampuan memahami bacaan tentu saja menjadi masalah tersendiri bagi mereka.
Hal semacam itu bisa dimaklumi karena kapasitas otak para buzzer bayaran itu memang sangat terbatas. Bahkan para dedengkotnyapun yang sering membuat monolog berisi kedunguan namun dishare kemana-mana oleh pemujanya, namun ketika berada dalam forum dialog terbuka seperti ILC selalu luluh lantak baik ketika menghadapi ustadz Felix Siauw maupun lainnya.
Semua ketololannya langsung tertampakkan.
Ada pula web bernama Sewordungudotcom yang spesialisnya kalau diperhatikan secara seksama hanya membuat narasi berisi kepandiran penulisnya sendiri. Datanya mentah, opininya sangat amat subjektif. Tak memahami bedanya menulis dengan mengetik. Lalu dtuangkan dalam bentuk narasi di youtube dalam rangka mendelegitimasi yang dianggap sebagai lawan politik.
Kedunguan kadang memang tak ada batasnya. Lebih parahnya diborong semua secara kolektif. Menguliti lawan yang berbeda orientasi dengan segala macam cara.
Fittnah, bully, dsb-nya sudah menjadi wirid hariannya kaum Otak Dikit. Namun satu hal yang mereka tak fahami bahwa dengan cara seperti itu secara efek komunikasi sesungguhnya mereka telah membuat orang lain menjadi naik popularitasnya.
Bila bully-an maupun fitnah tersebut mampu dipatahkan dengan baik maka menjadi nilai positif terhadap orang yang mereka fitnah.
Belum lagi hal subtansial yang mereka lupa atau memang tak memahaminya.
”Di sekolah itu kita diberi pelajaran dulu baru ujian. Namun dijalanan kita mendapat ujian dulu baru memetik pelajaran.”
Bagi kalangan aktifis yang sudah hafal lika-liku yang semacam itu dan telah berproses dengan panjang tentu saja apa yang dilakukan oleh gerombolan sewordungudotcom dkk hanya menjadi bahan tertawaan.
Karena yang dialami oleh individu yang mereka coba kuliti itu, sejak menjadi aktifis mahasiswa sampai saat ini tentu saja jam terbangnya sudah melampaui itu semua. Karena mereka tak hanya lulus di kampus tapi juga sudah terbiasa menghadapi “ujian” di jalanan yang datangnya selalu tiba-tiba.
Apalagi cuma sekedar menghadapi bully-an para liberal udik yang dikampungnya mandi di empang bareng kebo, lalu masuk Jakarta tiba-tiba sok modern, doyan ngewine tapi nunggu dibayarin orang lain.
Komentar