TILIK.id, Jakarta — Program Kartu Prakerja masih terus menjadi isu menarik di tengah pandemi Covid-19. Sempat mengaduk-aduk pikiran publik setelah perusahaan milik staf khusus presiden ikut cawe-cawe dalam penyediaan palatihan, kini publik tetap khawatir program ini tidak tepat sasaran, bahkan berpotensi tejadi ladang menguntungkan platform digital.
Majelis Nasional Korps Alummi Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI) juga masih menganggap masalah Kartu Prakerja merupakan problem serius. Karena itu, organisasi para mantan aktivis ini mendiskusikannya melalui Zoominar Jumat malam.
Tampil sebagai mara sumber antara lain mantan Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat, mantan Deputi Penempatan Tenaga Kerja Ade Adam Noch, Eko Nugri, dan Abdul Kohar. Pengantar disampaikan Koordinator Presidium MN KAHMI Herman Khaeron.
Herman Khaeron dalam pengantarnya mengatakan, wabah Covid-19 membuat Indonesia mangalami masalah berat. Rencana masuknya 500 TKA asal China ikut menambah masalah. Setelah banyak yang menolak, pemerintah akhirnya mengerti Indonesia sedang banyak PHK, rakyat sedang susah.
“Saya mendapatkan data bahwa 2 juta sekarang sudah posisi nganggur. Ini yang formal sudah 2 juta tar-PHK. Tetapi Kadin menyebutkan ada sekitar 40 juta.
Ini yang formal. Belum lagi yang informal,” kata Herman.
Mereka yang ter-PHK ini adalah juga anak-anak bangsa yang salama ini mengail rizki dari mata rantai kehidupannya. Inilah yang juga harus pula mendapat perhatian.
“Ironisnya juga, tenaga kerja yang dari luar negeri pun ini sebetulnya pulang juga karena situasi wabah Covid ini terjadi di seluruh dunia dan ekonomi menekan negaranya. China sudah turun di triwulan pertama minus 8,6 persen dan negara-negara lain juga demikian,” kata Herman.
Dikatakan, kita tidak berharap negara ini runtuh tapi kita berharap ada solusi yang bisa dikontribusikan kepada siapapun, baik itu kepada negara pada pemerintah kepada wakil-wakil rakyat kepada masyarakat secara langsung dan tentu menjadi harapan MN KAHMI.
“Ada dua track yang kami tempuh, pertama adalah track akademis yang tentu kami terus melakukan putaran-putaran terhadap situasi berikut dengan dampaknya, sehingga kami bisa melahirkan rekomendasi-rekomendasi yang bermanfaat bagi negara ini,” katanya.
Yang kedua membentuk Satgas Covid-19 yang sampai saat ini terus bergerak, terus bergerilya berkeliling beraudiensi dan terus berkontribusi. Kita semua dalam ancaman penyakit, tetapi Satgas terus bergerilya bergerak demi kebaikan.
Jumhur Hidayat dalam paparannya menyebut bahwa Kartu Prakerja adalah Lagalized Crimized. Yaitu kejahatan yang dilegalkan. Sebelum mengurai masalah, ada pernyataan bahwa sebelum Covid ada pengangguran terbuka lebih dari 7 juta orang. Angka ini dipertanyakan karena alasan defenisi BPS.
“Nah sampai akhir April kemarin sudah ada tiga juta yang di-PHK dan lebih dari 100 ribu perusahaan mem-PHK karyawannya. Puncak PHK bisa sampai 5 juta orang,” kata Jumhur.
Untuk mengatasi pengangguran, ada intervensi kebijakan. Salah satunya adalah Kartu Prakerja walau program ini telah disampaikan saat masa kampanye Pilpres yang lalu. Namun kebijjakan ini tidak ada yang istimewa. Hal biasa kerika ada larihan kerja diberi uang saku, dan lain-lain.
“Kartu Prakerja seperti sudah diamplifier seolah-olah sesuatu yang baru. Departemen Tenaga Kerja puluhan tahun sudah melakukan pelatihan kerja. Itu memang dikasi uang saku. Sekarang dipolitisasi menjadi sesuatu yang baru,” ujar Junhur.
Kemudian, kata Jumhur, ada pembentukan kelembagaan melalui Perpres 36 Tahun 2020 tertanggal 26 Februari 2020 yang artinya muncul sebelum Perppu No. 1 Tahun 2020.
“Namun yang menarik, Perpres 36 ini referensinya adalah UUD 45 Pasal 4 ayat 1 berbunyi Presiden Memegang Kekuasaan Tertinggi Pemerintahan. Saya seumur-umur Perpres referensinya langsung ke UUD 45,” kata Jumhur.
Kemudian ada Permenko yang dibuat pada 27 Maret 2020 yang artinya dibuat sebelum ada Perppu No 1 Tahun 2020. Artinya mereka yang melakukan kejahatan pada program Kartu Prakerja ini tidak bisa dilindungi oleh Perppu.
“Lalu ada Komite Pelaksana Kartu Prakerja yang dibentuk oleh Menko Perekonomian yang diketuai Menko Perekonomian. Dari situ dibentuk namanya manajemen pelaksana,” kata Jumhur.
Padahal itu kita tahu ini adalah pekerjaan Kememterian Tenaga Kerja . Jadi, kata Jumhur, komite pelaksana maupun manajemen pelaksana membajak pekerjaan Dirjen Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja.
“Kemudian ada lagi penetapan provider. Ini aneh banget tiba-tiba ada 8 provider dan diakui ini tidak dilakukan dengan lelang, tapi kerjasama. Dari sisi government ini adalah lkeliru,” kata Jumhur lagi.
Menurutnya, di mana-mana yang namanya kerjasama itu, apalagi dengan pemerintah, didahului dengan lelang atau beauty contest. Jangankan program besar, program seperti ini biasanya ada kontrak kerja.
“Kemudian rekrutmem calon peserta. Ini rekrutmem bisa diakses lewat website. Verifikasinya tidak jelas, siapa aja bisa masuk. Padahal nanti kita lihat target grup atas kelompok sasaran. Itu intervensi kebijakan,” katanya.
Kelompok sasaran dari Kartu Prakerja ini adalah pencari kerja, dan juga korban PHK yang pesangonnya habis 4 bulan. Harusnya ini yang menjadi sasaran.
Sementara di Kementerian Tenaga Kerja itu, para pencari kerja itu tidak ada yang lebih canggih datanya selain di dinas tenaga kerja. Karena mereka memiliki data yang disebut kartu AK 1 atau kartu kuning.
“Tidak semua pencari kerja di desa memiliki keahlian di bidang platform digital. Mereka yang bekerja di pedalamam di perkebunan mana mengerti platform digital,” kata Jumhur.
Yang terakhir, kata dia, diperlukan cara yang arif dan menghindari mentalitas pengemis. Memberikan bantuan lamgsung tunai tanpa orientasi akan menjadikan bermental pengemis.
“Itulah target grup. Sekarang target grup itu meleset di Kartu Prakerja ini. Banyak meleset karena hanya lewat akses website,” katanya.
Soal pelatihan, harus ada hard skill, praktek yang dibimbing menghadapi alat, diuji dan disertifikas serta ada balai latihannya. Untuk soft skill, bisa berbagai cara, lewat online.
“Namun dari semua jenis pelatihan itu ada referensinya, namanya standard kompetensi kerja nasional Indonesia. Ada PP nya, jadi jelas ada aturan mainnya,” kata Jumhur.
Jumhur menyebut, prgram Kartu Prakerja sebagai skandal keji keuangan. Tersedia dana Rp 20 triliun untuk 5,6 juta peserta, di mana tiap peserta dapat sekitar Rp 3,5 juta. Tapi Rp 1 jutanya untuk belanja platform digital.
“Ini menurut saya perbuatan tercela. Karena semua orang mengatakan harusnya ini semua gratis. Saya tanya pada orang yang mengerti IT, mengerti konten-konten video, bilang gratis saya bisa kalau perusahaan saya diklik 1 juta orang,” katanya.
Jumhur kemudian memberikan pandangan. Pertama, hentikan kelembagaan pelaksana dan kembalikan ke Kementerian Tenaga Kerja. Kedua, hentikan provider platform digital swasta dan dikerjakan langsung oleh sistem milik Kemenaker. Dana itu dikembalikan untuk menambah kelompok sasaran.
“Dengan mengembalikan dan menghapus provider platform digital, maka kita bisa menambah kelompok sasaran sampai 8 juta penerima Kartu Prakerja itu. Jadi programnya jangan dihentikan, yang distop uangnya, pemain tengahnya, saja,” kata Jumhur.
Penggunaan platform digital, bukan satu-satunya cara mengakses program kartu Prakerja itu. Kalau melibatkan kementerian semua bisa dicapai penamnahan kelompok sasaran.
Narasumber lain, Ade Adam Noch, menjelaskan bahwa kita berngara itu berpijak pada UUD. Salah satu pasal yang terkait dengan ketenagakerjaan dalam UUD 45 yang tidak diamandemen adalah pasal 27. Tiiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak untuk kemanusiaan.
“Oleh karena itu maka kewajiban negara untuk melaksanakan menjamin hak warga negara untuk mendapat pekerjaan,” kata Ade Adam Noch.
Terkait dengan itu, kata Ade lagi, maka kalau Kartu Prakerja itu dikatakan realistis jika itu untuk mengatasi pengamgguran karena pengangguran sangat banyak, apalagi ditambah efek covid.
“Tapi menjadi boombastis ketika kita masyarakat menyaksikan adanya proses Kartu Prakerja kemudian masuknya tenaga kerja asiing. Ini kenudian menimbulkan kegaduhan, dan kegaduhan ini harusnya dipahami sebagai keresahan publik untuk melihat kebikajan-kebikan pemerintah yang terkait dengan kehidupan warga negara yang harus dijamin pemerintah,” kata Ade.
Terkait dengan contoj latihan, ada kontroversi, bahwa selama ini Menko itu mengkoordinasikan, tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan teknis yang menjadi tugas kementerian teknis. Menjadi pertanyaan apakah Kementerian Tenaga Kerja tidak dipercaya untuk melakukan palatihan.
“Saya ingin menyampaikan aset yang dimiliki Kemeterian Tenaga Kerja untuk melatih tenaga kerja. Itu sebanyak 306 balai latihan kerja, di pusat 23, kemudian di daerah 286 BLK. Belum lagi swasta yang punya lembaga-lembaga latihan, belum lagi instansi-instansi pemerintah di luar Kementerian Tenaga Kerja, kemudian juga perusahaan-perusahaan industri yang punya lembaga-lembaga pelatihan,” kata Ade.
Jika semua itu didayagunakan, maka akan lebih menjamin penciptaan lapangan pekerjaan. Karena latihan tidak sekadar menonton di Youtube, tetapi pelatihan itu harus melakukan praktek-praktek dalam prosedur pelatihan. Menonton berbeda dengan latihan.
“Pelatihan itu ada instrukturnya, ada alat pelatihannya, kemudian ada waktu untuk mempraktekkan pelatihan itu. Karena itu, perlu untuk memberikan peran lebih maksimal kepada Kementerian Tenaga Kerja,” katanya.
Memang, kata Ade Adam Noch, Kementerian Tenaga Kerja tidak menciptakan lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan itu diciptakan oleh sektor-sektor yang ditangani kementerian di mana sektor-sektor ini bisa dikoordinasikan. Kalau ini dilaksanakan tidak akan timbul kegaduhan-kegaduhan.(lms)
Komentar