Oleh: Dr. Muhammad Sabri, MA
(Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila-BPIP)
DARI abad ke-12 yang dingin, sebilah tradisi Arkhaik antik mengalir riuh dalam percakapan manusia yang paling senyap: Tuhan. Setidaknya ada dua dalil “percakapan” tentang Tuhan.
Yang pertama secara “esoteris-mistis” dan kedua dengan menggunakan penalaran “logis-filosofis”.
Kabbalah, salah satu sekte terpenting dalam tradisi Yudaik, memilih jalur pertama.
Kaum Kabbalist mendaku, tidak ada “pengetahuan religius” yang mungkin tentang Tuhan, betapapun tinggi dan agungnya pengetahuan tersebut. Bagi mereka, Tuhan tak dapat dipercakapkan dengan kerangka pengetahuan manusia.
Untuk menerobos misterium yang berkabut itu, kaum Kabbalist—setidaknya yang ditulis Gershom Scholem, Kabbalah (New York: Meridian, 1978)—menyodorkan satu anggitan atau konsep unik dalam menyebut Tuhan, Ein Sof. Anggitan ini, dapat disepadankan dengan “Yang Nirbatas” atau “Yang Tak Terbatas” (Infinitum), tapi para Kabbalist enggan mendefinisikan anggitan tersebut dan membiarkannya tidak diterjemahkan.
Ein-Sof tidak memiliki kembaran kata dalam bahasa Arab atau Latin. Kata Arkhaik ini tumbuh dari bahasa Yudaik Kuna le ein sof atau ad le-ein sof, yang bermakna “membentang tanpa batas”, mengandaikan bahwa Tuhan adalah yang tak terbatas dalam eksistensi dan kekuasaan-Nya.
Ein-Sof, sebab itu, dilukiskan para Kabbalist sebagai kesempurnaan mutlak, dimana tidak ada distingsi dalam dirinya: ia adalah yang unik, tapi keunikannya tak dapat dirumuskan oleh pengetahuan manusiawi. Sebab, setiap pengetahuan akan mengategorisasi objeknya, sementara Ein-Sof tidak dapat dikonsespi dan dikategorisasi.
Dari titik ini, kaum Kabbalah lalu menyebut Ein-Sof dalam sejumlah pengungkapan: mah she-ein ha-mahshavah massaget (“yang tak terhalau oleh pikiran”), ha-or ha-mit’allem (“cahaya tersembunyi”), seter ha-ta’allumah (“rahasia yang terselubung”), dan ha-ahdut ha-shavah (“kesatuan yang tak terpisahkan”), yang kian meneguhkan betapa gelap pengetahuan manusia tentang Tuhan.
Selubung misteri Tuhan kian tebal, menyusul penegasan kaum Kabbalah jika bahasa, juga bahasa yang dipilih Tuhan, tidak memuat sedikit pun tentang hakikat Ein-Sof. Tidak ada petunjuk atau isyarat apa pun tentang Ein-Sof itu sendiri. Yang ada hanyalah petunjuk atas petunjuk tentang Ein-Sof, dan bukan tentang “diri” Ein-Sof. Dengan kata lain, penyebutan Ein-Sof tak lebih semacam alegorisme tentang “hakikat Ein-Sof.”
Tak kurang dari Baruch Kosover (w. 1770), salah seorang Kabbalist menulis: “Ein-Sof bukanlah nama diri-Nya, melainkan hanyalah kata yang menandakan ketersembunyian-Nya yang absolut, dan bahasa suci kita tidak memiliki kata seperti dua kata itu untuk menandakan ketersembunyian-Nya. Dan tidak boleh seorang berkata, ‘Ein-Sof, semoga kita dirahmati oleh-Nya’ atau ‘semoga Dia merahmati’, karena Dia tak dapat dipuji dengan bibir kita.” Lidah kita pun terlalu profan untuk “menyebut” Dia yang Mahasakral.
Para Kabbalah lebih jauh mengembuskan kearifannya, bahwa Ein-Sof, menajallikan Asal-Mula Diri sebagai “ketiadaan” atau “kekosongan”. Tradisi Kabbalah, lagi-lagi, di titik senyap mengenai Tuhan, mengenalkan satu istilah yang juga tak dimiliki tradisi religius apa pun yakni ayin. Istilah ini mirip dengan ‘ayn (Arab) yang berarti “esensi”, namun uniknya, ayin dapat dimaknai kurang lebih sebagai “ketiadaan”, justu berseberangan arti dengan “ada” yang terkandung dalam ‘ayn.
Ein-sof, memanifestasikan diri—dalam kaji kaum Kabbalah—pertama-tama sebagai ayin (“ketiadaan”), ayin ha-gamur (“ketiadaan yang absolut”). Karena Ia “Tiada”, maka setiap sesuatu yang ada muncul darinya. Para Kabbalah berkeyakinan bahwa segala yang ada bersumber dari dan berakhir pada “Ketiadaan Azali” atau Ein-Sof.
Karena “ketiadaannya”, karena ketiadaannya yang absolut—demikian sebilah keyakinan kukuh yang terbungkus pualam mistik kaum Kabbalah—maka Ein-Sof tidak dapat dikonsepsikan dengan pengetahuan kategoris. Cara terbaik, meski belum tentu memadai, adalah dengan menegasikan pernyataan tentang Ein-Sof itu sendiri.
Karena itu, ayin musti dipahami sebagai “Dia Yang Bukan” atau “Dia Yang adalah Bukan”. Dengan ungkapan lain: Dia yang menegasikan dirinya, atau menampakkan dirinya sebagai “Negativitas Sublim” (sublime negativity). Konsekuensinya, Tuhan bukanlah ini atau itu, bukan ada atau tidak ada, bukan apa-apa dan bukan bukan apa-apa, ia tidak dapat disebut dengan apapun yang mungkin untuk disebut. Itu sebab, tradisi Al-Quran mewartakan Tuhan dalam nafas yang negasi: Lam yakun lahu kufuwan ahad (“Tak satu apapun yang setara Dia”—Qs.112:4) atau laysa kamistlihi syai’ (“Tak satu apapun yang dapat diamsalkan dengan-Nya”—Qs.42:11).
Pengajian tentang Tuhan—setidaknya dalam haluan mistis kaum Kabbalah—mengandaikan jika Dia tak terjangkau, tak tercakapkan, tak terumuskan, tak tunai dengan kalam: sebilah kesunyian mutlak yang maha senyap, tapi juga Maha Lain Penuh Cinta. Jangan-jangan, Tuhan dalam kearifan-mistik Kabbalah adalah episentrum: misterium yang menyedot setiap rindu yang membuncah untuk “melebur” dengan-Nya, di setiap lengan waktu. Karena itu, jalan menemui-Nya, membentang sebanyak detak jantung para perindunya.
Komentar